Ditulis oleh : Drs Farid Ma’ruf, MPA
Politik itu faktanya lebih mewarnai dan lebih kuat dari institusi manapun di negeri kita tercinta, hatta klaim hukum sebagai panglima pun tak berdaya menhadapi wibawa politik. Banyak kasus yang melibatkan orang penting menjadikan hukum tidak lagi berdaya kalau orang yang menjadi terduganya atau tersangkanya berhasil berlindung di balik politik atau partai politik yang sedang memegang kendali pemerintahan.
Hukuman mati bagi pelaku korupsi di saat negara dalam bencana, sekalipun pasalnya sudah jelas kata Prof. Romli, sepertinya kita tidak yakin akan dilaksanakan karena orang yang terlibat korupsi BANSOS sangat kuat didukung salahsatu partai politik yg sedang berkuasa saat ini.
Tidak hanya di ranah hukum yang banyak disoroti publik, khususnya oleh para pengamat, di dunia pendidikan juga sesungguhnya sangat dipengaruhi politik sejak zaman awal kemerdekaan sampai saat ini. Dua institusi yang diberi mandat mengelola pendidikan pun sepertinya akur akur saja dan tidak mempersoalkan terus terjadinya segregasi dan diskriminasi dalam praktek pendidikan bagi masyarakatnya. Yang sering penulis dengar itu hnya istilah tetangga sebelah ketika salahsatu merasa seperti dinomor duakan dalam perlakuan. Banyak contoh yang bisa kita jadikan perumpamaan. Satu tingkat satuan pendidikan yang berada di lingkungan kementerian yang satu mendapat bantuan dana tertentu, sementara stauan pendidikan di bawah naungan kementerian yang satu lagi tidak diberi bantuan, alasannya klasik yaitu berlindung di bawah UU Otonomi Daerah, padahal otonomi daerah itu seharusnya tidak melanggar atau bertentangan dengan konstitusi, lihat dan bandingkan saja UU Otda tersebut dengan Pembukaan UUD 1945. Sebagai contoh yang paling mutakhir di Kab. Karawang adalah soal peluang menjadi guru inti di Pusat Belajar Guru (PBG). Hanya guru yang berada di bawah naungan DIKBUDPORA saja boleh diikutsertakan dalam seleksi (syarat no 1). Politik lokalnya sangat kentara juga, Bupati hanya dipajang sebagai publik figure saja, bukan penentu kebijakan, yang dikedepankan adalah pejabat DIKBUDPORA nya. Gambar Bupati seolah olah hanya pajangan saja saja dalam pengambilan kebijakan ini
Satu institusi diberi dukungan anggaran sangat besar sementara yang lain hanya diberi sebagian kecil saja dari anggaran negara. Alasannya selain berlindung di balik undang undang adalah karena pertimbangan politis dan pertimbangan praktis dari kementerian pengelolanya.
Yang satu banyak memiliki pendidikan formal dengan status negeri dengan lebih sedikit sekolah sekolah dg status swastanya. Sementara satu lembaga kementerian yang lain memiliki sedikit sekolah yang menyandang status negeri dengan lebih banyak jumlah sekolah yang tumbuh dan dikelola masyarakat (swasta). Buat pemerintah jelas menguntungkan kalau masyarakat lebih mengambil inisiatif mendirikan dan mengelola sekolah sekolah formal.
Masalahnya yang kemudian timbul adalah persoalan disparitas kwalitas pengelolaannya.
Sehebat hebat sekolah yang dikelola swasta, apalagi swasta yang hanya bermodalkan sumberdaya terbatas, bahkan lebih banyak yang berharap pada bantuan operasional pendidikan dari pemerintah, maka yang terjadi kesenjangan kwalitas itu akan terus terjadi.
Mau sampai kapankah disparitas lembaga pendidikan formal ini akan dibiarkan jika politik segregasi pendidikan terus dipertahankan? Jawabannya pasti banyak orang sudah tahu, tapi hanya yang yang memiliki kekuatan dan posisi politik saja yang bisa mewujudkannya.